Pembenaran untuk Teori Konsumsi Keynes

1 comment

Hai hai !

Dua minggu lalu saya dan teman-teman saya mengadakan bachelor party. Acara kumpul-kumpul yang selalu kami lakukan jika salah satu dari kami akan menikah. Kami biasanya hanya janjian kumpul, ngobrol ngalor ngidul, ngerjain si bride-to-be, foto-foto lalu pulang. Tidak se-fabulous cewe-cewe party yang makan di restoran mewah, ada rundown, menu enak-enak, foto-foto fabulous ala wanita metropolis, dan lainnya. Yang terpenting adalah kami bisa kumpul dan bergosip. Maklum, wanita.

Momen seperti itulah yang kami manfaatkan untuk mengenang kembali masa-masa indah saat satu kantor dulu. Masa-masa dimana ngobrol, makan siang dan tea time lebih banyak dibanding kerja. Diusahakan agar waktu kerja nggak mengganggu waktu main. Setiap hari selalu punya cerita, nggak pernah bosen walaupun memang kadang ngeluh soal kerjaan tapi pertemanan tidak. 

Saat kumpul kemarin, salah satu teman saya nyeletuk gini, "dulu waktu kita masih kerja di --- (maaf sensor) gaji kecil tapi tuh kita setiap hari bisa nongkrong ngopi-ngopi, nyicil ini itu, akhir bulan pasti main ke Sency, karaokean, rajin ke midnite sale, kok sekarang setelah di kantor baru, gaji gede tapi gue ngerasa kere."

Upsss! 

Saya dan yang lainnya mengamini pernyataan itu, gaji kita kecil karena memang kita freshgraduate saat itu. Kerjaan kita memang banyak tapi selalu disempetin hangout untuk ngopi di cafe entah dimana. Namanya juga baru ngerasain kerja, semua barang pun jadi baru, termasuk kebutuhan seperti hp dan laptop, yaaa walaupun semuanya nyicil, hihihihi.  Tiap gajian, kita pun kompak belanja di mall yang itu-itu aja karena dekat kantor dan sering ngadain midnite sale, nggak lain dan nggak bukan yaitu Sency, our second office.

Seperti yang teman saya bilang, sekarang gaji bisa dua bahkan tiga kali lipat dari sebelumnya, tapi kita selalu ngerasa nggak punya uang. Lalu salah kita dimana ?

Mengutip Teori Konsumsi J.M. Keynes (Source disini) ;
Pengeluaran seseorang untuk konsumsi dan tabungan dipengaruhi pendapatannya. Semakin besar pendapatan seseorang maka akan semakin banyak tingkat konsumsinya pula, dan tingkat tabungannya akan semakin bertambah. Dan sebaliknya apabila pendapatan seseorang semakin kecil, maka seluruh pendapatnya digunakan untuk konsumsi, sehingga tingkat tabungannya nol.
Teori diatas ada benarnya juga, semakin besar pendapatan maka semakin besar tingkat konsumsinya. Tapi kok kami ngerasa kere. Dalam artian, uang kami dihabiskan untuk investasi kehidupan dibanding kebahagian. Bukan berarti nggak bahagia, I mean, kumpul bareng temen after office untuk sekedar ngobrol hingga tengah malam.

Menurut saya sih, orientasi menghabiskan uangnya sudah berbeda. Karena sekarang yang kami masing-masing kejar adalah kebutuhan akan kehidupan yang lebih layak (sandang, pangan dan papan) yang lebih berkualitas dibandingkan dulu waktu masih ngekos, banyak nongkrong, banyak ngopi, makan minum hanya indomie pun jadi, yang ada dipikiran cuma nongkrong dimana kita malam ini, bukan sudah kah kita makan nabung untuk nikah / anak ?

Setelah satu persatu menemukan pekerjaan yang lebih baik lalu menikah. Orientasi nongkrong ketawa-ketiwi sambil ngopi pun sirna ditelan kenangan, yang ada sekarang adalah nabung untuk nikah bagi yang masih single, sedangkan bagi yang sudah menikah orientasinya jadi nabung untuk pendidikan anak, nabung untuk liburan bareng keluarga kecil, cicilan rumah dan mobil, dan lainnya. Jauh dari keinginan sering ngumpul bareng teman seperjuangan menghabiskan rupiah demi rupiah untuk sosialisasi (baca: bergaul) untuk sekedar eksistensi.

Menukil teori Hierarki Kebutuhan Maslow (Source Wikipedia) bahwa kebutuhan dasar yang digambarkan sebagai sebuah hierarki atau tangga yang menggambarkan tingkat kebutuhan diantaranya (1). fisiologis, (2). rasa aman, (3). rasa memiliki / kasih sayang, (4). penghargaan dan (5). kebutuhan aktualisasi diri.
(5). Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi. Maslow melukiskan kebutuhan ini sebagai hasrat untuk semakin menjadi diri sepenuh kemampuan sendiri, menjadi apa saja menurut kemampuannya.
Bagi yang bingung, berikut ini penjelasan analisa saya. Mungkin hal ini pula dialami oleh kalian tapi kalian tidak sadar. Mari analisis!

Kehidupan kami dulu saat menemukan teman yang cocok, menghibur, mengerti akan diri kita merupakan bentuk dari tingkat kebutuhan nomor 2 dari teori Maslow yaitu menemukan rasa aman. Setelah kemudian kami masing-masing menemukan pasangan dan menikah (nomor 3) yang dibarengi meningkatnya karir kami dengan gaji yang bertambah tinggi (nomor 4) maka setelah itu muncul perihal ingin menaikan derajat ke kehidupan yang lebih layak dan mapan, bisa dengan beli rumah atau mobil pribadi.

Kesemuanya itu jika dihubungkan akan membenarkan teori Hierarki Maslow bahwa kebutuhan manusia itu meningkat. Jadi, nggak salah dong, kalau teman saya merasa dulu waktu masih single apa-apa bisa tanpa mikir serius, yang ada hanya ketawa ketiwi, sedangkan sekarang setelah menikah atau sedang memikirkan ke jenjang yang lebih serius, kebutuhan kami pun semakin meninggi. Berakibat kami bekerja untuk memenuhi potensi diri, menunjukkan kemampuan, ingin digaji tinggi agar diakui.  Gaji besar, cicilan besar, tanggungan pun semakin besar. Mungkin kewajiban inilah yang bikin kami jadi mikir, dulu dengan gaji kecil bisa senang-senang tapi sekarang gaji besar malah merasa kere.

Begitulah pemikiran saya. Kembali lagi bagaimana kita menyikapinya, membawa perubahan besar ke kehidupan kita masing-masing.

Cukup rumit yaaa heheheh :))

Sekian cerita "berat" saya kali ini, bhay !


Cheers,
L









Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar

Shout your comment here and thanks for dropping by :)